Selamat Tinggal WS Rendra


"Orang yang menghayati daya hidup akan paham terhadap kematian. Orang yang tidak menyia-nyiakan hidupnya akan lebih paham menghadapi kematian."

Willibrordus Surendra Rendra Bawana Rendra yang lebih dikenal dengan nama WS Rendra atau "Si Burung Merak", mengungkapkan kalimat di atas dalam artikelnya berjudul Daya Hidup (1986), 23 tahun sebelum wafatnya pada Kamis malam.

Rendra mengatakan, sebelum ada daya ekonomi, daya politik, daya sosial, daya filsafat, daya agama, daya ilmu pengetahuan, daya seni dan daya lainnya, daya yang pertama dan utama dari manusia adalah daya hidup.

"Tanpa ada daya hidup, daya-daya lainnya menjadi lesu, beku atau bahkan sirna. Mengolah daya hidup adalah hal yang sangat penting dalam membina hidup manusia dan ancaman terhadap daya hidup amat merugikan manusia," kata Rendra, seniman serba bisa yang ditangkap pemerintah Orde Baru ketika membacakan puisnya di TIM, karena dianggap memprovokasi publik.

Inti kalimat Rendra di atas adalah, manusia harus hidup dalam hidup, jangan sampai mati dalam hidup. Ini bentuk altruisme kata-kata, sejenis yang diungkapkan Chairil Anwar dalam frasa Sekali Berarti Sesudah itu Mati.

Rendra dan Chairil selalu meradang, menerjang, bila menyaksikan ketidakadilan di sekeliling mereka dan bila melihat rendahnya semangat juang di lingkungannya.

Rendra pernah amat sebal dengan mengatakan, "Tiba-tiba aku jadi muak pada seniman-seniman muda yang tidak mempunyai tenaga, tidak mempunyai kelurusan pikiran dan pengendapan pengalaman." (Keagungan Penari-penari Losari, 1982).

Ia mengekspresikan kata-kata itu ketika menyaksikan seorang penari tua (70 tahun) di Losari, Cirebon, yang masih amat ekspresif dengan gerakan-gerakan tenaga muda.

Ibu Dewi, si penari di Losari itu mengatakan, "Untuk menari Kelana dibutuhkan tenaga sebesar yang diperlukan untuk menumbuk satu kuintal padi. Tenaga itu tidak keluar kalau kalau sebagai penari pikiran tidak tenang. Untuk memainkan perananan dahsyat kita harus siap dengan ketenangan pikiran."

Rendra mengalami hal paradoks dalam pemikirannya, di satu sisi menyaksikan betapa generasi tua masih kuat dengan keberadaan mereka, dengan loyalitas terhadap nilai berkesenian mereka, dengan kepekaan terhadap sistem sosial lingkungan mereka, namun di sisi lain ia melihat kehidupan kesenian generasi lain begitu terpedaya dengan alam maya mereka, dengan alam nalar mereka.

Seniman Empu Bengkel Teater itu berpendapat, "Daya kreatif adalah kemampuan untuk bereaksi dan beraksi secara unik. Artinya, penuh dengan kepribadian, tidak sekadar berdasarkan kebiasaan umum. Oleh karena itu daya kreatif selalu mengesankan kesegaran, obat yang diperlukan untuk melawan kejenuhan dan kemacetan?" (Kreativitas. 1986).

Rendra, kelahiran Solo 7 November 1935, yang antologi puisinya sudah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, Urdu, Sanskrit, Rusia, Malaysia dan beberapa lainnya itu, memang merupakan pribadi unik yang mengutamakan nalar.

Ia mengatakan, bila manusia ingin menghayati sesuatu keadaan atau objek dengan pancaindra total, maka manusia akan selalu menemukan hal unik. Objek yang telah lama dikenal, katanya, atau barang lumrah dalam hidup keseharian, bisa menjelma menjadi sesuatu yang segar dan baru.

Untuk melatihnya, di Bengkel Teater, beberapa pemain yang kepekaan pancaindranya tumpil sering dilatih dengan cara matanya dibalut atau telinganya disumpal gabus untuk tiga atau lima hari.

Mereka mengalami dimensi pengalaman baru. Mereka melalui kulitnya merasakan temperatur berbeda di tiap ruang atau kamar, karakter bunyi dan suara teman mereka tandai, bau pisang pun semakin terasa bahkan bau teman-teman mereka sendiri bisa dibedakannya.

Fuad Hasan (1999) menggambarkan Rendra sebagai penutur yang berkelana tanpa genderang dan tidak mencari telinga yang bersedia mendengar dan mata yang bersedia menatap dan ia tidak memilih mitra untuk bicara.

"Tetapi Rendra semakin mekar sebagai pembawa pesan karena kehadiran pengagumnya dan orang terkesan karena citranya sebagai burung merak yang semakin kemilau warna-warninya," kata Fuad.

"Rendra mengungkapkan muatan batinya dalam hening kesendirian dan meniupkan hidup ke dalam gagasannya melalui berbagai perlambangan. Rendra ibarat gabungan antara air, awan dan angin. Ia ibarat penggembala di padang luas. Serunainya mengalun, berkumandang di seantero manusiawi, mengalir melalui air, berarak melalui awan, berhembus bersama angin," ujar Fuad.

Rendra, putera dari ayah R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo, guru bahasa Indonesia dan Jawa Kuno di SMA Katolik Solo dan ibunya Raden Ayu Catharina Ismadillah, penari serimpi di Keraton Surakarta, adalah katolik taat, kemudian masuk Islam ketika menikah dengan Sitoresmi Prabuningkat pada 12 Agustus 1970.

Ia mengumumkan ketika itu namanya menjadi Rendra saja. Istri pertamanya meninggal pada 1995. Ia menikah lagi dengan Sitoresmi, pemain drama dalam Bengkel Teater. Ia bercerai lagi kemudian menikah lagi dengan anggota Bengkel Teater, Ken Zuraida.

Sejak kelas dua SMP ia sudah dikenal jago membaca puisi dan ketika SMA ia sudah menerbitkan majalah drama sejumlah 500 eksemplar. Sajaknya yang pertama dikirimkan kepada majalah Siasat pada 1952, setelah itu karyanya mulai bertaburan di berbagai media di Tanah Air.

Ia juga menulis cerita pendek. "Ia Punya Leher yang Indah" dimuat di majalah Kisah, 1956, dan untuk pertama kali ia menerima hadiah dari majalah itu. Ia juga menulis drama dan salah satunya (Orang Orang di Tikungan Jalan) mendapat hadiah dari Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta.

Berbagai pengamat sastra asing, seperti Profesor A. Teew, Profesor Harry Aveling dan yang lainnya melakukan pengamatan dan penelitian atas karya Rendra bahkan Profesor Rainer Carle, pakar sastra dari Jerman, membuat disertasi dengan judul Rendras Gedichtsammlungen (1957-1972).

Rendra juga memberi kuliah di berbagai negara termasuk di Harvard University, American Acedemy of Dramatic Arts dan kuliah sosiologi di New York University.

Dramanya berjudul Bib-Bob sangat terkenal dan dipentaskan di Indonesia pada 1968, disusul di New York, Tokyo dan beberapa negara lain. Drama terjemahannya yang terkenal adalah Oedipus Sang Raja dan Qasidah Berzanji.

Karya Rendra yang diterbitkan atau dipentaskan antara lain Balada Orang-orang Tercinta (1957(, Empat Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonnie (1971), Sajak-Sajak Sepatu Tua (1972), Nyanyian Orang Urakan (1985), Potret Pembangunan dalam Puisi (1983), Disebebkan oleh Angin (1993) dan Orang-orang Rangkasbitung (1993) (kumpulan puisi).

Orang-orang di Tikungan Jalan (1954), Selamatkan Anak Cucu Sulaiman (1967), Mastodon dan Burung Kondor (1972), Kisah Perjuangan Suku Naga (1975), Sekda (1977) dan Penambahan Reso (1986) (drama). Ia Sudah Bertualang (1963) (kumpulan cerita pendek) serta Mempertimbangkan Tradisi (1983) (kumpulan esai).

WS Rendra kini telah tiada, si "Burung Merak" itu sudah terbang tinggi, tidak kembali lagi.(A.A Loebis)

Komentar